Nanis merupakan anak bungsu dari pasangan
keluarga miskin. Empat orang kakanya hanya mampu menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar (SD), bahkan ibunya tak paham soal sekolah. Kalo bicara soal
pendidikan di keluarganya, yang paling tinggi adalah kakaknya yang nomor dua.
Dia sempat merasakan duduk di bangku SMP walau hanya satu semester, dan
kemudian didepak lantaran tidak bisa membayar biaya sekolah.
Sebagai orang desa yang serba susah, mimpi Nanis tidak
muluk-muluk. Dia hanya ingin bersekolah. Tidak peduli sekolah apapun namanya.
Waktu duduk di bangku sekolah SD, Nanis bersekolah di sekolah yang hanya
bersetatus terdaftar. Soal prestasi sekolahnya, jangan ditanya. Karena jika
ditanya, itu hanya akan menjadi pertanyaan yang tidak pernah terjawab sepanjang
masa, dan akan menjadi rahasia yang tak terpecahkan, bahkan dengan mengerahkan
intelejen sekelas FBI sekalipun.
Gedung sekolah Nanis ketika itu lebih pantas dijadikan kadang
kelinci, daripada kandang ayam. Tapi Nanis tidak peduli. Buat Nanis, yang
penting adalah status bersekolahnya, dan belajar dengan giat. Soal sarana dan
prasarana, itu urusan lain. Menurut Nanis, toh pada akhirnya yang dilihat hanya
ijazah, dan kemampuannya saja, tidak sampai gedung, pengajar, bocor atau tidak
bocor sekolahnya. Walau orang miskin, Nanis memang terkenal memiliki kecerdasan
di atas rata-rata. Hingga pada akhirnya, dengan menjunjung tinggi keyakinannya
itu, Nanis dapat menyelesaikan pendidikannya hingga lulus SMA.
Seperti kebanyakan siswa lainnya, Nanis pun ‘galau’ ketika harus
memilih bekerja atau kuliah. Jika kuliah, kuliah jurusan apa, di mana,
bagaimana memulainya, dan segudang pertanyaan lainnya. Pertanyaan tambahan bagi
Nanis adalah, biayanya dari mana, bagaimana cara daftaranya, dijemput atau
tidak, dan beberapa pertanyaan polos yang sulit dicerna oleh kebanyakan orang.
Karena bagi kebanyakan orang, pertanyaan-pertanyaan Nanis bukanlah pertanyaan
yang wajib dijawab. Bahkan, jika diumpamakan sebuah ujian, pertanyaan Nanis itu
masuk kategori pertanyaan “Bonus”. Yang kalaupun salah menjawabnya, tetap
dianggap benar oleh pembuat pertanyaan.
Hingga suatu ketika, Nanis memberanikan diri menyampaikan
kebingungan kepada Ibunya yang dianggap dapat memberikan solusi.
“…Bu,
Aku bingung, aku sudah lulus SMA” keluh Nanis kepada ibunya.
“Terus, apa masalahmu?” Jawab ibunya.
“Aku bingung harus kuliah atau bekerja” lanjut Nanis ragu.
“Kita ini orang miskin, bekerja lebih baik buatmu. Tidak ada kata kuliah, bisa lulus SMA saja, kau sudah banyak bikin ibu susah.!!” sahut ibunya sinis.
“Terus, apa masalahmu?” Jawab ibunya.
“Aku bingung harus kuliah atau bekerja” lanjut Nanis ragu.
“Kita ini orang miskin, bekerja lebih baik buatmu. Tidak ada kata kuliah, bisa lulus SMA saja, kau sudah banyak bikin ibu susah.!!” sahut ibunya sinis.
Nanis diam tanpa kata, karena menjawab pernyataan ibu, hanya akan
mempersulit perjuangannya. Nanis tidak menduga, ternyata mengeluh kepada ibunya
jadi masalah baru. Sekarang tantangan Nanis bertambah, selain kebingungannya
memilih kerja atau kuliah, Nanis harus meyakinkan ibunya agar memberi restu
untuk melanjutkan kuliah.
Nanis tidak berani bercerita kepada Bapaknya tetang masalah yang
sedang dialami, hal ini dilakukan oleh dia bukan tanpa alasan. Mungkin karena
sejak awal Nanis lahir, bapaknya memang sudah tidak berniat untuk
menyekolahkannya. Bagi bapaknya, menjadi kuli bangunan dari kampung ke kampung
sudah cukup terhormat. Itulah kalimat semboyan bapak Nanis sejak ibunya
mengandung Nanis dan empat orang saudaranya.
Bapak Nanis sseorang kuli bangunan. Saat ini, sedang merantau
menyelesaikan sebuah proyek gedung di kota bersama teman satu desanya.
Biasanya, bapak Nanis balik saat proyek selesai atau saat diberi kesempatan
libur oleh Mandor.
Malam hari setelah Nanis pulang dari mushalla usai menjalankan
shalat Isya, dia mencoba menemui kakaknya yang nomor tiga, namanya Intan. Intan
adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Nanis. Selain memiliki sifat
keibuan, Intan kadang bijak dalam memberi nasehat dan arahan.
“Teh -teteh, sebutan kakak perempuan bagi orang sunda-, aku
bingung” keluh Nanis pada Intan.
“Bingung
kenapa kamu Nis?” sahut Intan.
“Teteh tahukan, aku baru saja dinyatakan lulus oleh sekolah” lanjut Nanis.
“Teteh tahukan, aku baru saja dinyatakan lulus oleh sekolah” lanjut Nanis.
“Lalu, masalahmu apa? Tanya tetehnya kembali.
“Aku ingin kuliah, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Aku tak
tahu harus memulai dari mana. Kita tak punya uang, uang pendaftaran, uang
macam-macam, semua kita tidak punya. Parahnya lagi, Ibu malah menyuruhku untuk
memilih bekerja. Aku tak tau harus bekerja apa” jawab Nanis panjang menjulang.
“Nis, jika teteh harus menjawab jujur, mungkin mengeluh pada teteh
juga akan menambah masalah buatmu”. Sahut Intan dengan nada lemah. “Teteh tahu
apa tentang sekolah” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi, rasanya,
sebagai orang yang lebih tua, teteh tidak pantas membantah keinginanmu yang
mulia itu” lanjut Intan menenangkan. “Lalu.?” Tanya nanis penasaran. “Teteh
mendukungmu Nis, nanti teteh bantu kamu meyakinkan ibu” tegas intan meyakinkan.
Nanis girang bukan kepalang, “terima kasih Teh” sahut Nanis dengan
wajah gembira. Nanis beranjak ke kamar, Nanis tidur pulas malam ini.
Soal urusan lobi melobi ibu, Intan memang jagonya. Mungkin karena
mereka sama-sama perempuan, sehingga tahu dari mana dia harus memulai sebuah
pembicaraan dan meyakinkan.
Keesokan harinya, Intan menyiapkan amunisi, siap berperang, siap
menyerang. Menunggu hari senja, Intan bergegas, bertanya kepada teman-temannya,
mengapa kita harus sekolah, bagaimana orang bisa sukses, dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang sudah disiapkan. Semua jawaban direkam olehnya,
dan akan dijadikan bahan obrolan saat meyakinkan ibunya nanti malam. Hari
kembali senja, perjuangan Intan dimulai.
Setelah shalat magrib, Intan mulai mendekati Ibunya. Muka ibu
nampak sedang tidak sedap, Intan urung. Bada Isya, muka ibu mulai cerah. Entah
pembersih apa yang dipakai ibu Intan. Intan mendekat, sedikit pura-pura santai,
lalu intan menyapa.
“…Bu, aku lihat TV di rumah teman, banyak orang-orang sukses yang
muncul disana” Intan memulai pembicaraan dengan ibunya.
“Kenapa?
Kamu ingin ibu belikan TV untuk kalian? Uang dari mana?” Sahut ibu menebak
maksud Intan.
“Bukan Bu” bantah Intan. “Dari tayangan itu, mereka berjuang menjadi sukses dan mereka sekolah” jelas Intan dengan ragu.
“Bukan Bu” bantah Intan. “Dari tayangan itu, mereka berjuang menjadi sukses dan mereka sekolah” jelas Intan dengan ragu.
“Pasti mereka berasal dari orang kaya” timpal ibu.
“…Betul bu” sahut Intan. “Tapi, yang paling penting, walau mereka
kaya, mereka bersekolah sampai tinggi. Sampai sarjana, malah di atasnya” Intan
mulai mengarah kepada pokok pembicaraan.
“Ya, karena mereka kaya” bantah ibunya.
“kalau mereka saja yang sudah kaya mau sekolah, mengapa kita orang
susah gak mau sekolah bu, setidaknya, supaya kita lebih terhormat, sejajar
dengan kebiasaan orang kaya, yaitu sekolah” Intan mulai panas.
“Bagaimana kita bisa sekolah, kalo kita gak punya uang buat
bayarnya. Sekolah itu hanya miliki mereka yang ber-uang. Orang susah kayak kita
mana bisa” Ibu terbakar.
“Sekolah itu sebab bu, bukan akibat. Orang sekolah, berilmu,
sukses, lalu jadi orang kaya. Bukan sebalikna. Setelah kaya, mereka
menyekolahkan anak dan keturunannya. Bukankah ibu dulu yang pernah bilang
kepada Intan waktu kecil soal itu.!?” Intan mulai ngarang. Ibu mulai diam dan
berpikir sejenak, bingung, karena ibu merasa tidak pernah mengatakan hal itu
sebelumnya. Tapi tetap meng-amini, lalu menyahut.
“…Tan, orangtua selalu berbicara idealis kepada anak-anaknya,
walaupun sesuatu yang tidak mungkin sekalipun dicapainya. Itu kewajiban
orangtua. Kenyataanya, tidak semudah yang ada pada ucapan mereka. Paham kau
Tan..!? bentak ibunya.
“…Sudahlah, usiamu sudah cukup tua untuk sekolah, tidak pantas
anak SMP seusia kamu” kata ibu mulai menutup pembicaraan.
“…bukan aku bu, tapi Nanis” Intan memelas.
Pembicaraan mereka berlanjut dengan tensi yang lebih rendah. Intan
mulai menjalan strategi memelas kepada Ibunya, si Ibu mulai merendah. Bertahan
di tengah gempuran sang anak. Berkali-kali Intan melakukan serangan, tapi tetap
dimentahkan. Pembicaraan terus berlangsung, hingga mereka tertidur.
Pagi buta Intan terbangun lebih dahulu dari ibunya. Intan
bergegas, menjalankan shalat subuh, membersihkan dapur, dan menyiapkan makanan
seadanya. Tak lama kemudian ibu terbangun. Intan berharap ibu lupa dengan
perdebatan tadi malam. Walau ingat, Intan berharap ibu menyetujui niat Nanis
untuk melanjutkan kuliah.
Waktu sudah menunjukan pukul 09.00 pagi, tidak ada pembicaraan
yang berarti hari ini. Ibu malu menyapa, Intan enggan memulai. Sementara Nanis,
menjalankan aktifitas rutinnya, menyemai harapan.
Ibu mendekat pada Intan, dengan gerakan sedikit canggung, ibu
menyapa.
“…Tan, kemana Nanis?” Tanya ibu penuh basa-basi
“Mungkin sedang keluar bersama teman-temannya bu” jawab Intan
dengan nada kikuk.
“Jika Dia pulang nanti, bilang padanya…”
“Bilang apa bu?” potong Intan penasaran.
Ibu termenung dan terdiam sejenak. Sementara Intan menanti jawaban
ibu dengan mata berbinar-binar.
“Bapak minta Nanis menyusul ke kota, kontraktor tempat bapak
bekerja membutuhkan kuli untuk percepatan proyeknya. Tadi malam bapak menelepon
lewat tetangga” jawab ibu dengan muka penuh bersalah.
Intan terdiam, pikirannya melayang. Sang Negosiator handal
ternyata harus bersimpuh mengakui kekalahan yang tragis, kalah karena alasan
kemiskinan. Negosiasi tadi malam berakhir, dan pemenang sudah diumumkan.
Hasilnya adalah Nanis menjadi Kuli.
Nanis belum tahu soal ini, karena hari ini Nanis sedang menemui
guru-gurunya yang dianggap bisa membantu meraih mimpinya itu.
Tapi palu sudah diketuk, sekuat apapun, hasil apapun yang nanis
dapat, menjadi kuli adalah jawabannya. Karena suara bapak adalah suara tuhan.
Tidak ada yang bisa membantah keputusan tersebut. Ini adalah pukulan hebat bagi
Intan. Sementara Nanis masih tersenyum dikejauhan entah dimana. Dia belum tahu,
bahwa kuli adalah profesi dia selanjutnya. (Ceritanya bersambung)
0 comments:
Post a Comment